Jumat, 28 Januari 2011

Sejarah Hidup Muhammad

1.  Pengaruh Mu'ta - Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiya
   - Khuza'a meminta bantuan Nabi - Utusan Abu Sufyan
   kepada Nabi - Sepuluh ribu Muslimin siap ke Mekah -
   Harapan Muhammad tanpa pertumpahan darah membebaskan
   Mekah - Abbas berangkat menemui Abu Sufyan - Muslimin
   datang membebaskan - Muhammad memaafkan musuhnya semua
   - Ka'bah dibersihkan dari berhala - Islamnya penduduk
   Mekah.
 
DI BAWAH pimpinan Khalid  bin'l-Walid  pasukan  Muslimin  kini
kembali  pulang  setelah  terjadi  peristiwa Mu'ta itu. Mereka
kembali  tidak  membawa   kemenangan,   juga   tidak   membawa
kekalahan. Mereka kembali pulang dengan senang hati.
 
Penarikan  mundur ini setelah - Zaid b. Haritha, Ja'far b. Abi
Talib dan Abdullah b. Rawaha tewas - telah meninggalkan  kesan
yang  berlain-lainan  sekali  pada  pihak  Rumawi,  pada pihak
Muslimin yang tinggal di Medinah dan  pada  pihak  Quraisy  di
Mekah.  Rumawi  merasa  gembira sekali dengan penarikan mundur
pasukan Muslimin itu. Mereka  sudah  merasa  bersyukur,  sebab
pertempuran   itu  tidak  sampai  berlangsung  lama,  meskipun
tentara Rumawi terdiri dari seratus ribu menurut satu  sumber,
-  atau  dua  ratus ribu menurut sumber yang lain, - sementara
pasukan Muslimin terdiri dari  tiga  ribu  orang.  Kegembiraan
pihak  Rumawi  itu  -  baik disebabkan oleh ketangkasan Khalid
bin'l-Walid  dalam  bertahan  mati-matian  dengan  kekuatannya
dalam  mengadakan  serangan, sehingga ia menghabiskan sembilan
pedang  yang  patah  di  tangannya  ketika  bertempur  setelah
tewasnya   tiga   sahabatnya   itu,   atau   disebabkan   oleh
kecerdikannya dalam mengatur dan membagi-bagi pasukannya  pada
hari  kedua  dan  yang  telah menimbulkan hiruk-pikuk sehingga
pihak Rumawi mengira bahwa bala bantuan telah didatangkan dari
Medinah   -   namun   kabilah-kabilah  Arab  yang  tinggal  di
perbatasan dengan Syam sangat kagum  sekali  melihat  tindakan
Muslimin ketika itu.

Karena peristiwa itu pula salah seorang pemimpin mereka (Farwa
b. 'Amr al-Judhami, seorang komandan pasukan Rumawi)  langsung
menyatakan  diri  masuk  Islam.  Akan  tetapi,  atas  perintah
Heraklius dia kemudian ditangkap  dengan  tuduhan  berkhianat.
Sungguh  pun  begitu  Heraklius  masih bersedia membebaskannya
kembali asal saja ia  mau  kembali  ke  dalam  pangkuan  agama
Nasrani,  bahkan  ia  bersedia  mengembalikannya  pada jabatan
semula sebagai komandan  pasukan.  Tetapi  Farwa  menolak  dan
tetap   menolak  dengan  tetap  bertahan  dalam  keislamannya,
sehingga akhirnya ia dibunuh  juga.  Tetapi  karena  itu  pula
Islam  makin  luas  tersebar  di kalangan kabilah-kabilah Najd
yang berbatasan dengan Irak  dan  Syam.  Ketika  itu  di  sana
Rumawi sedang berada dalam puncak kekuasaannya.
 
Dengan bertambah banyaknya orang masuk ke dalam agama baru ini
Kerajaan Bizantium  makin  goyah  kedudukannya,  sehingga  ada
penguasa  Heraklius,  yang  bertugas  membayar  gaji  militer,
ketika itu berkata lantang kepada orang-orang Arab  Syam  yang
ikut  dalam  perang; "Lebih baik kalian menarik diri. Kerajaan
dengan  susah  payah  baru  dapat   membayar   gaji   angkatan
perangnya. Untuk makanan anjingnya pun sudah tidak ada."
 
Tidak  heran  kalau  mereka  lalu  meninggalkan  kerajaan  dan
meninggalkan angkatan perangnya. Sebaliknya,  agama  baru  ini
makin  cemerlang sinarnya memancar dihadapan mereka, yang akan
mengantarkan mereka kepada kebenaran yang lebih  tinggi,  yang
akan  menjadi  tujuan  umat manusia. Itu pula sebabnya, selama
waktu itu saja ribuan orang telah masuk  Islam,  yang  terdiri
dari  kabilah  Sulaim dengan pemimpinnya Al-'Abbas ibn Mirdas,
kabilah-kabilah  Asyja'  dan  Ghatafan   yang   dahulu   sudah
bersekutu  dengan  Yahudi  sampai hancurnya Yahudi di Khaibar,
demikian  juga  kabilah-kabilah  'Abs,  Dhubyan  dan   Fazara.
Peristiwa  Mu'ta  ini jugalah yang telah imemudahkan persoalan
bagi Muslimin di bagian utara  Medinah  sampai  ke  perbatasan
Syam  itu,  dan  ini  pula  yang  telah  membuat  Islam  lebih
terpandang dan lebih kuat.
 
Akan tetapi buat Muslimin yang tinggal di Medinah  pengaruhnya
lain  lagi.  Bilamana  mereka  melihat  Khalid  dan pasukannya
kembali dari perbatasan Syam  tidak  membawa  kemenangan  atas
pasukan   Heraklius,  mereka  bersorak-sorak  mengatakan:  "He
orang-orang pelarian! Kamu lari dari  jalan  Allah!"  Beberapa
orang anggota pasukan itu merasa demikian malu sampai ada yang
tidak berani keluar rumah, supaya jangan  lagi  diperolok-olok
oleh  anak-anak  dan  pemuda-pemuda  Muslimin  dengan  tuduhan
melarikan diri itu.
 
Sebaliknya di mata Quraisy, akibat Mu'ta  itu  dipandang  oleh
mereka   sebagai  suatu  kehancuran  dan  pukulan  berat  buat
Muslimin, sehingga tak ada lagi orang  yang  mau  menghiraukan
mereka   atau  menganggap  penting  segala  perjanjian  dengan
mereka.    Biarlah    keadaan    kembali    seperti    sebelum
'umrat'l-qadza'.   Biarlah  keadaan  kembali  seperti  sebelum
Perjanjian Hudaibiya. Biarlah orang-orang Quraisy kembali lagi
menyerang  kaum  Muslimin  dan  siapa  saja yang masih terikat
perjanjian dengan mereka tanpa harus merasa takut ada tindakan
hukum dari Muhammad.

Perdamaian  Hudaibiya  antara  lain  sudah  menentukan,  bahwa
barangsiapa  yang  ingin  masuk  kedalam  persekutuan   dengan
Muhammad  boleh  saja,  dan  barangsiapa  ingin  masuk kedalam
persekutuan  dengan  pihak  Quraisy  juga  boleh.  Ketika  itu
Khuza'a  masuk  bersekutu  dengan  Muhammad  sedang  Banu Bakr
dengan pihak Quraisy. Sebenarnya antara  Khuza'a  dengan  Banu
Bakr  ini  sudah lama timbul permusuhan yang baru reda setelah
ada perjanjian Hudaibiya, masing-masing kabilah  menggabungkan
diri dengan pihak yang mengadakan perdamaian itu.
 
Dengan  adanya  peristiwa  yang  telah  terjadi  di Mu'ta itu,
sekarang terbayang oleh Quraisy bahwa Muslimin pasti mengalami
kehancuran.  Sudah  terbayang  oleh Banu'd-Dil, sebagai bagian
dari Banu Bakr  b.  'Abd  Manat,  bahwa  sekarang  sudah  tiba
waktunya akan membalas dendam lamanya kepada Khuza'a, ditambah
lagi memang ada segolongan orang dari pihak Quraisy yang  ikut
mendorong,  diantaranya 'Ikrima b. Abi Jahl dan beberapa orang
pemimpin Quraisy  lainnya  yang  sekalian  memberikan  bantuan
senjata.

Malam  itu pihak Khuza'a sedang berada di tempat pangkalan air
milik mereka sendiri yang bernama al-Watir,  oleh  pihak  Banu
Bakr  mereka  diserang  dengan  tiba-tiba  sekali dan beberapa
orang dari pihak Khuza'a dibunuh.  Sekarang  Khuza'a  lari  ke
Mekah,  berlindung  kepada  keluarga  Budail  b. Warqa, dengan
mengadukan  perbuatan  Quraisy  dan  Banu  Bakr   yang   telah
melanggar  perjanjian dengan Rasulullah itu. Untuk itu 'Amr b.
Salim dari Khuza'a cepat-eepat pula pergi ke Medinah. Dan bila
ia  sudah  menghadap  Muhammad  yang  ketika  itu sedang dalam
mesjid dengan beberapa orang, diceritakannya  apa  yang  telah
terjadi itu dan ia meminta pertolongannya.
 
"'Amr b. Salim, mesti engkau dibela," kata Rasulullah.
 
Sesudah itu Budail b. Warqa, bersama beberapa orang dari pihak
Khuza'a kemudian berangkat pula ke Medinah. Mereka  melaporkan
kepada  Nabi mengenai nasib yang mereka alami itu serta adanya
dukungan Quraisy kepada Banu  Bakr.  Melihat  apa  yang  telah
dilakukan  Quraisy dengan merusak perjanjian itu, maka tak ada
jalan lain menurut Nabi, Mekah harus dibebaskan. Untuk itu  ia
bermaksud  mengutus  orang  kepada  kaum  Muslimin  di seluruh
jazirah supaya bersiap-siap menantikan  panggilan  yang  belum
mereka ketahui apa tujuannya panggilan demikian itu.

Sebaliknya  orang-orang yang dapat berpikir lebih bijaksana di
kalangan Quraisy, mereka sudah dapat menduga bahaya  apa  yang
akan  timbul  akibat  tindakan 'Ikrima dan kawan-kawannya dari
kalangan  pemuda  itu.  Kini   persetujuan   Hudaibiya   sudah
dilanggar,  dan  pengaruh Muhammad di seluruh jazirah sekarang
sudah bertambah kuat. Sekiranya apa  yang  telah  terjadi  itu
dipikirkan,  bahwa  pihak Khuza'a akan menuntut balas terhadap
penduduk Mekah, pasti  Kota  Suci  itu  akan  sangat  terancam
bahaya. Jadi apa yang harus mereka lakukan sekarang?
 
Mereka  mengutus  Abu  Sufyan ke Medinah, dengan maksud supaya
persetujuan itu diperkuat kembali dan  diperpanjang  waktunya.
Barangkali  waktu  yang  sudah  itu  berlaku  untuk dua tahun,
sekarang mereka mau supaya menjadi sepuluh tahun.

Abu Sufyan, sebagai pemimpin mereka  dan  sebagai  orang  yang
bijaksana  di  kalangan  mereka kini berangkat menuju Medinah.
Ketika sampai di 'Usfan dalam  perjalanannya  itu  ia  bertemu
dengan  Budail  b.  Warqa,  dan rombongannya. Ia kuatir Budail
sudah menemui Muhammad dan melaporkan apa yang telah  terjadi.
Hal   ini  akan  lebih  mempersulit  tugasnya.  Tetapi  Budail
membantah bahwa ia telah menemui Muhammad. Sungguhpun  begitu,
dari  kotoran  binatang  tunggangan  Budail itu ia mengetahui,
bahwa orang itu memang dari Medinah. Oleh  karena  itulah,  ia
tidak  akan  langsung  menemui  Muhammad lebih dulu, melainkan
akan menuju ke rumah puterinya, Umm Habiba, isteri Nabi.
 
Mungkin ia (Umm Habiba) memang  sudah  mengetahui  rasa  kasih
sayang  Nabi  kepada  Quraisy meskipun ia belum mengetahui apa
yang sudah menjadi keputusannya mengenai  Mekah.  Dan  mungkin
juga semua Muslimin yang ada di Medinah demikian.
 
Waktu  itu  Abu  Sutyan  sudah  akan duduk di lapik yang biasa
diduduki  Nabi,  tapi  oleh  Umm  Habiba  lapik   itu   segera
dilipatnya.  Lalu  oleh  ayahnya ia ditanya, melipat lapik itu
karena ia sayang kepada ayah,  ataukah  karena  sayang  kepada
lapik.
 
"Ini  lapik  Rasulullah s.a.w.," jawabnya. "Ayah orang musyrik
yang kotor. Saya tidak ingin ayah duduk di tempat itu."
 
"Sungguh  engkau  akan  mendapat  celaka,  anakku,"  kata  Abu
Sufyan. Lalu ia keluar dengan marah.

Sesudah   itu  ia  pergi  menemui  Muhammad,  bicara  mengenai
perjanjian serta  perpanjangan  waktunya.  Tetapi  Nabi  tidak
memberikan  jawaban  samasekali.  Selanjutnya ia pergi menemui
Abu Bakr supaya membicarakan maksudnya itu dengan Nabi. Tetapi
Abu  Bakr  juga  menolak.  Sekarang  Umar  bin'l-Khattab  yang
dijumpainya. Tetapi Umar memberikan jawaban yang cukup  keras:
"Aku  mau  menjadi  perantara kamu kepada Rasulullah? Sungguh,
kalau yang ada padaku hanya remah, pasti dengan itu  pun  akan
kulawan  engkau."  Seterusnya ia menemui Ali b. Abi Talib, dan
Fatimah ada di tempat itu. Dikemukakannya maksud kedatangannya
itu  dan  dimintanya  supaya  ia  menjadi  perantaranya kepada
Rasul. Tetapi Ali mengatakan dengan lemah-lembut bahwa tak ada
orang  yang  akan  dapat  menyuruh  Muhammad  menarik  kembali
sesuatu yang sudah menjadi  keputusannya.  Selanjutnya  utusan
Quraisy itu meminta pertolongan Fatimah supaya Hasan - anaknya
- berusaha memintakan perlindungan di kalangan khalayak ramai.
 
"Tak ada orang akan berbuat demikian itu  dengan  maksud  akan
dihadapkan kepada Rasulullah," jawab Fatimah.
 
Sekarang  keadaannya  jadi  makin  gawat  buat  Abu Sufyan. Ia
meminta pendapat Ali.
 
"Sungguh saya tidak tahu, apa yang kiranya akan  berguna  buat
kau,"  jawab Ali. "Tetapi engkau pemimpin Banu Kinana. Cobalah
minta perlindungan kepada orang ramai; sesudah itu,  pulanglah
ke  negerimu.  Saya kira ini tidak cukup memuaskan. Tapi hanya
itu yang dapat saya usulkan kepadamu."
 
Abu Sufyan lalu pergi ke mesjid dan  di  sana  ia  mengumumkan
bahwa  ia  sudah meminta perlindungan khalayak ramai. Kemudian
ia menaiki  untanya  dan  berangkat  pulang  ke  Mekah  dengan
membawa perasaan kecewa karena rasa hina yang dihadapinya dari
anaknya sendiri dan dari orang-orang  -  yang  sebelum  mereka
hijrah - pernah mengharapkan belas-kasihannya.
 
Abu   Sufyan   kembali   ke  Mekah.  Kepada  masyarakatnya  ia
melaporkan segala yang  dialaminya  selama  di  Medinah  serta
perlindungan  yang dimintanya dari masyarakat ramai atas saran
Ali, dan bahwa Muhammad belum memberikan persetujuannya.
 
"Sial!" kata mereka. "Orang itu lebih-lebih lagi mempermainkan
kau."
 
Lalu mereka kembali lagi mengadakan perundingan.

Sebaliknya  Muhammad,  ia  berpendapat  tidak  akan memberikan
kesempatan mereka  mengadakan  persiapan  untuk  memeranginya.
Oleh  karena  ia  sudah percaya pada kekuatan sendiri dan pada
pertolongan Tuhan kepadanya, ia berharap akan dapat  menyergap
mereka  dengan  tiba-tiba,  sehingga  mereka tidak lagi sempat
mengadakan perlawanan  dan  dengan  demikian  mereka  menyerah
tanpa pertumpahan darah.
 
Oleh  karena  itu  diperintahkannya supaya orang bersiap-siap.
Dan setelah persiapan selesai,  diberitahukan  kepada  mereka,
bahwa  kini ia siap berangkat ke Mekah, dan diperintahkan pula
supaya mereka cepat-cepat.  Sementara  itu  ia  berdoa  kepada
Tuhan  mudah-mudahan  Quraisy  tidak  sampai mengetahui berita
perjalanan Muslimin itu.

Ketika tentara Muslimin sudah siap-siap akan berangkat,  Hatib
b. Abi Balta'a mengirim sepucuk surat di tangan seorang wanita
dari Mekah, budak salah seorang Banu  'Abd'l-Muttalib  bernama
Sarah  dengan  dlberi upah supaya surat itu disampaikan kepada
pihak Quraisy,  yang  isinya  memberitahukan,  bahwa  Muhammad
sedang   mengadakan   persiapan   hendak   menghadapi  mereka.
Sebenarnya  Hatib  orang  besar  dalam  Islam.  Tapi   sebagai
manusia,   dari   segi   kejiwaannya   ia  mempunyai  beberapa
kelemahan, yang  kadang  cukup  menekan  jiwanya  sendiri  dan
menghanyutkannya  kedalam  suatu  masalah  yang  memang  tidak
dikehendakinya.  Masalah  ini  oleh   Muhammad   segera   pula
diketahui.
 
Cepat-cepat   disuruhnya   Ali   b.   Abi   Talib  dan  Zubair
bin'l-'Awwam mengejar Sarah. Wanita itu disuruh  turun,  surat
dicarinya di tempat barang tapi tidak juga diketemukan. Wanita
itu diperingatkan, bahwa kalau surat  itu  tidak  dikeluarkan,
merekalah yang akan membongkarnya. Melihat keadaan yang begitu
sungguh-sungguh, wanita itu berkata: Lalulah.
 
Kemudian  ia  membuka  ikatan  rambutnya  dan  surat  itu  pun
dikeluarkan,  yang oleh kedua orang itu lalu dibawa kembali ke
Medinah.
 
Sekarang Hatib dipanggil oleh Muhammad dan ditanya  kenapa  ia
sampai berbuat demikian.
 
"Rasulullah,"  kata  Hatib.  "Demi  Allah,  saya tetap beriman
kepada Allah  dan  kepada  Rasulullah.  Sedikit  pun  tak  ada
perubahan  pada  diri saya. Akan tetapi saya, yang tidak punya
hubungan keluarga atau kerabat dengan  mereka  itu,  mempunyai
seorang  anak  dan  keluarga di tengah-tengah mereka. Maka itu
sebabnya saya hendak menenggang mereka."
 
"Rasulullah," sela Umar bin'l-Khattab. "Serahkan kepada  saya,
akan saya penggal lehernya. Orang ini bermuka dua."
 
"Dari  mana  engkau  mengetahui  itu, Umar," kata Rasulullall.
"Kalau-kalau Allah sudah menempatkan dia  sebagai  orang-orang
Badr  ketika  terjadi  Perang Badr." Lalu katanya: "Berbuatlah
sekehendak kamu. Sudah kumaafkan kamu."
 
Dan Hatib memang orang yang ikut  dalam  Perang  Badr.  Ketika
itulah firman Tuhan datang:
 
"Orang-orang  yang  beriman!  Janganlah musuhKu dan musuh kamu
dijadikan   sahabat-sahabat   kamu,   dengan    memperlihatkan
kasih-sayang kamu kepada mereka." (Qur'an, 60: 1)

Sekarang  pasukan  tentara  Muslimin sudah mulai bergerak dari
Medinah menuju Mekah, dengan tujuan membebaskan kota itu serta
menguasai  Rumah  Suci, yang oleh Tuhan telah dijadikan tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.
 
Pasukan ini bergerak dalam  suatu  jumlah  yang  belum  pernah
dialami  oleh kota Medinah. Mereka terdiri dan kabilah-kabilah
Sulaim,  Muzaina,  Ghatafan  dan   yang   lain,   yang   telah
menggabungkan  diri,  baik  kepada  Muhajirin  atau pun kepada
Anshar.  Mereka  berangkat  bersama-sama   dengan   mengenakan
pakaian  besi. Mereka melingkar ke tengah-tengah padang sahara
yang membentang luas itu, sehingga apabila kemah-kemah  mereka
sudah  dikembangkan,  tertutup  belaka  oleh debu pasir sahara
itu; sehingga karenanya orang takkan dapat melihatnya.  Mereka
yang  terdiri  dari  ribuan  orang  itu telah mengadakan gerak
cepat. Setiap mereka melangkah maju, kabilah-kabilah lain ikut
menggabungkan  diri, yang berarti menambah jumlah dan menambah
kekuatan pula. Semua mereka berangkat dengan kalbu yang  penuh
iman,  bahwa  dengan  pertolongan  Allah  mereka akan mendapat
kemenangan.  Perjalanan  ini  dipimpin  oleh  Muhammad  dengan
pikiran dan perhatian tertuju hanya hendak memasuki Rumah Suci
tanpa akan mengalirkan darah setetes sekalipun.
 
Bila pasukan ini sudah sampai  di  Marr'z-Zahran1  dan  jumlah
anggota  pasukan  sudah  mencapai  sepuluh  ribu  orang, pihak
Quraisy  belum  juga  mendapat  berita.  Mereka  masih   dalam
silang-sengketa,  bagaimana  caranya  akan  menangkis serangan
dari Muhammad.
 
Oleh Abbas b. 'Abd'l-Muttalib  -  paman  Nabi  ditinggalkannya
mereka   itu   dalam  perdebatan  dan  dia  sendin  sekeluarga
berangkat menemui Muhammad di Juhfa.2  Boleh  jadi  sudah  ada
orang-orang  dari  Banu Hasyim yang sudah menerima berita atau
semacam berita tentang kebenaran Nabi. Lalu  mereka  bermaksud
menggabungkan diri tanpa akan mendapat sesuatu gangguan.
2. Disamping  Abbas,  yang  juga  berangkat menyongsong ialah Abu
Sufyan bin'l-Harith b. 'Abd'l-Muttalib, sepupu Nabi,  Abdullah
b.    Abi   Umayya   bin'l-Mughira,   anak   bibinya.   Mereka
menggabungkan diri dengan  pasukan  Muslimin  di  Niq'l-'Uqab.
Mereka berdua minta ijin akan menemui Nabi, tapi Nabi menolak.
 
"Tidak  perlu  aku  kepada mereka," katanya kepada Umm Salama,
isterinya, ketika ia mencoba membicarakan  masalah  dua  orang
itu.  "Aku  sudah  banyak  menderita  karena anak pamanku itu.
Sedang anak bibiku, dan iparku pula, ia sudah mengatakan  yang
bukan-bukan ketika ia di Mekah."
 
Keterangan ini disampaikan kepada Abu Sufyan, dan dia berkata:
 
"Demi  Allah,  bagiku  hanyalah  aku  ingin diijinkan bertemu,
atau, dengan bantuan anakku ini, kami akan pergi ke mana saja,
sampai kami mati kehausan dan kelaparan."
 
Nabi   merasa  kasihan  kepada  mereka.  Kemudian  mereka  pun
diijinkan masuk menemuinya, dan mereka menyatakan masuk Islam.

Menyaksikan pasukan Muslimin serta kekuatannya  yang  demikian
rupa,  Abbas  b.  'Abd'l-Muttalib  sekarang  merasa  cemas dan
terkejut sekali. Sekalipun ia sudah masuk Islam, namun hatinya
selalu  kuatir  akan  bencana  yang  akan  menimpa  Mekah jika
kekuatan pasukan yang belum pernah ada bandingannya di seluruh
jazirah  Arab  itu kelak menyerbu ke dalam kota. Bukankah baru
saja  ia  meninggalkan  Mekah,   meninggalkan   keluarga   dan
handai-tolan, yang belum lagi terputus pertalian mereka karena
Islam yang baru dianutnya itu? Boleh jadi ia  menyatakan  rasa
kekuatirannya  itu kepada Rasul, dan ia bertanya apa yang akan
diperbuatnya kalau pihak Quraisy minta damai. Atau boleh  jadi
juga sepupunya ini yang dengan senang hati membuka pembicaraan
dengan Abbas dalam  hal  ini,  dan  diharapkannya  ia  menjadi
seorang  utusan yang akan memberi kesan yang menakutkan kepada
sekelompok orang di kalangan Quraisy itu, sehingga kelak dapat
memasuki  Mekah tanpa sesuatu pertumpahan darah dan Mekah akan
tetap  dalam  kesuciannya  seperti  dulu  dan   seperti   yang
seharusnya akan demikian.
 
Dengan duduk di atas seekor bagal3 putih kepunyaan Nabi, Abbas
berangkat pergi ke daerah Arak, dengan harapan kalau-kalau  ia
akan berjumpa dengan orang mencari kayu, atau tukang susu atau
dengan manusia siapa saja yang sedang pergi ke Mekah. Ia  akan
menitipkan  pesan  kepada  penduduk  kota itu tentang kekuatan
pasukan Muslimin yang sebenarnya supaya mereka  kelak  menemui
Rasulullah  dan  minta damai sebelum pasukan ini memasuki kota
dengan kekerasan.
 
Sejak pihak Muslimin berlabuh di Marr'z-Zahran, pihak  Quraisy
sudah  mulai  merasakan  adanya  bahaya  yang sedang mendekati
mereka. Maka diutusnya Abu Sufyan b. Harb,  Budail  b.  Warqa'
dan  Hakim  b.  Hizam  - masih kerabat Khadijah - mencari-cari
berita serta mengajuk sampai seberapa jauh bahaya yang mungkin
mengancam mereka itu.

Sementara  Abbas  sedang  di  atas  bagal Nabi yang putih itu,
tiba-tiba ia mendengar ada percakapan  antara  Abu  Sufyan  b.
Harb dengan Budail b. Warqa' sebagai berikut:
 
Abu  Sufyan:  "Aku belum pernah melihat api unggun dan pasukan
tentara seperti yang kita lihat malam ini."
 
Budail: "Tentu itu api unggun Khuza'a  yang  sudah  dirangsang
perang."

Abbas  sudah  mengenal suara Abu Sufyan itu, lalu dipanggilnya
dengan nama julukannya:
 
"Abu Hanzala!"
 
"Abu'l-Fadzl!" gilir Abu Sufyan menyahut.
 
"Abu Sufyan, kasihan engkau!" kata Abbas.  "Rasulullah  berada
di  tengah-tengah  rombongan  itu.  Apa  jadinya Quraisy kalau
mereka memasuki Mekah dengan kekerasan."
 
"Apa yang harus kita perbuat!" kata Abu Sufyan. "Kupertaruhkan
ibu-bapaku untukmu."4
 
Oleh  Abbas  ia  dinaikkannya  di belakang bagal dan diajaknya
berangkat  bersama-sama,  sedang  kedua  temannya   disuruhnya
kembali  ke Mekah. Oleh karena ketika melihat bagal itu mereka
sudah mengenalnya, dibiarkannya  ia  dengan  penumpangnya  itu
lalu  di  hadapan  mereka, di tengah-tengah sepuluh ribu orang
yang sedang memasang api unggun, yang sengaja  dipasang  untuk
menimbulkan kegentaran dalam hati penduduk Mekah.
 
Akan  tetapi  ketika  bagal  itu lalu di depan api unggun Umar
bin'l-Khattab, dan Umar melihatnya, sekaligus ia mengenal  Abu
Sufyan dan diketahuinya pula bahwa Abbas hendak melindunginya.
Cepat-cepat ia pergi ke kemah Nabi dan dimintanya kepada  Nabi
supaya batang leher orang itu dipenggal.
 
"Rasulullah," kata Abbas. "Saya sudah melindunginya."

Menghadapi situasi semacam itu dan waktu sudah malam pula, dan
setelah terjadi perdebatan yang kadang sengit juga antara Umar
dan Abbas, Muhammad berkata:
 
"Bawalah  dia dulu ke tempatmu, Abbas. Pagi-pagi besok bawa ke
mari."
 
Keesokan  harinya,  bilamana  Abu  Sufyan  sudah  dibawa  lagi
menghadap  Nabi  dan  disaksikan  oleh  pembesar-pembesar dari
kalangan Muhajirin dan Anshar - terjadi dialog demikian ini:
 
Nabi: "Kasihan kamu Abu Sufyan! Bukankah sudah  tiba  waktunya
sekarang  engkau  harus mengetahui, bahwa tak ada Tuhan selain
Allah!?"
 
Abu  Sufyan:  "Demi  ibu-bapaku!  Sungguh  bijaksana   engkau!
Sungguh  pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga!
Aku memang sudah menduga, bahwa tak ada  tuhan  selain  Allah,
itu sudah mencukupi segalanya."
 
Nabi: "Kasihan engkau Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba waktunya
engkau harus mengetahui, bahwa aku Rasulullah!?"
 
Abu  Sufyan:  "Demi  ibu-bapaku!  Sungguh  bijaksana   engkau!
Sungguh  pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga!
Tetapi mengenai hal ini, sungguh  sampai  sekarang  masih  ada
sesuatu dalam hatiku."
 
Sekarang  Abbas  campur  tangan.  Ia  bicara  dengan ditujukan
kepada Abu Sufyan, supaya ia mau menerima Islam  dan  bersaksi
bahwa tak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad pesuruhNya
- sebelum batang lehernya dipenggal. Menghadapi hal  ini  buat
Abu  Sufyan  tak  ada  jalan  lain ia harus menerima. Sekarang
Abbas menghadapkan pembicaraannya kepada Nabi 'alaihissalam:
 
"Rasulullah," katanya. "Abu Sufyan  orang  yang  gila  hormat.
Berikanlah sesuatu kepadanya."
 
"Ya," kata Rasulullah "Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan,
orang itu selamat, barangsiapa menutup  pintu  rumahnya  orang
itu  selamat  dan  barangsiapa masuk ke dalam mesjid orang itu
juga selamat."
 
Ahli-ahli sejarah dan penulis-penulis riwayat hidup Nabi semua
sepakat  tentang  terjadinya  peristiwa-peristiwa  itu.  Hanya
sebagian mereka masih ada yang  bertanya-tanya:  Adakah  semua
itu terjadi karena kebetulan saja? Kepergian Abbas kepada Nabi
dengan maksud  hendak  pergi  ke  Medinah,  tiba-tiba  bertemu
dengan   pasukan   tentara  Muslimin  di  Juhfa,  begitu  juga
kepergian Budail b. Warqa' dan Abu Sufyan b. Harb  yang  hanya
sekedar  mau  mengintai,  padahal  sebelum  itu Budail sendiri
sudah ke Medinah dan melaporkan kepada  Nabi  apa  yang  telah
terjadi terhadap Khuza'a dan dari Nabi diketahuinya bahwa Nabi
akan membelanya. Adakah  dalam  kepergiannya  ini  Abu  Sufyan
tidak  menyadari  bahwa  Muhammad  juga telah berangkat hendak
menyerbu Mekah? Ataukah karena sesuatunya itu - sedikit banyak
-  dengan suatu persepakatan yang sudah diatur lebih dulu, dan
karena persepakatan itu pula, telah mempertemukan Abbas dengan
Abu  Sufyan, dan bahwa Abu Sufyan sudah yakin - sejak ia pergi
ke  Medinah  hendak  meminta  perpanjangan  waktu   Perjanjian
Hudaibiya  dan  kembali  dengan  tangan kosong - bahwa tak ada
jalan lain buat Quraisy akan dapat menahan Muhammad dan  yakin
pula  ia  bahwa kalau ia membukakan jalan untuk pembebasan itu
ia   akan   tetap   memegang   pimpinan   dan   mempertahankan
kedudukannya  yang  penting di Mekah, dan bahwa apa yang telah
menjadi persepakatan  mereka  itu  tidak  sampai  pula  kepada
Muhammad  dan  kepada  orang-orang  yang berkepentingan dengan
soal itu,  dengan  kenyataan  bahwa  Umar  sendiri  pun  telah
bermaksud  hendak  membunuh Abu Sufyan? Besar sekali risikonya
kita akan menjatuhkan vonis. Tetapi rasanya  kita  sudah  akan
dapat  memastikan  -  untuk  memuaskan  hati kita - bahwa baik
karena suatu  kebetulan  saja  yang  telah  menyebabkan  semua
peristiwa  itu,  atau  karena  memang  sudah ada semacam suatu
persepakatan, tapi yang terang kedua kejadian itu menunjukkan,
betapa  cermat  dan  pandainya  Muhammad dapat menguasai suatu
peperangan terbesar dalam sejarah Islam tanpa pertempuran  dan
tanpa pertumpahan darah.

Islamnya  Abu Sufyan itu tidak akan mengurangi kewaspadaan dan
kesiap-siagaan Muhammad dalam menyiapkan diri hendak  memasuki
Mekah.  Kalau  kemenangan  yang  di  tangan  Tuhan  itu memang
diberikan kepada siapa saja yang  dikehendakiNya,  tapi  Tuhan
akan  memberikan  pertolongan  hanya  kepada  orang yang sudah
mengadakan persiapan, dan dalam segala  hal  dan  setiap  saat
berjaga-jaga  terhadap  segala  kemungkinan.  Oleh  karena itu
diperintahkannya supaya Abu Sufyan ditahan dulu di sela  wadi,
pada  sebuah  jalan masuk gunung ke Mekah, sehingga bila nanti
pasukan Muslimin lewat, ia akan melihatnya sendiri, dan  dapat
pula  dengan  jelas  ia  melaporkan kepada golongannya, supaya
jangan timbul perlawanan yang bagaimanapun bentuknya,  apabila
ia dapat cepat-eepat kembali kepada mereka kelak.
 
Bilamana  kemudian  kabilah-kabilah  itu  lewat di hadapan Abu
Sufyan, yang sangat mempesonakan hatinya ialah batalion  serba
hijau  yang  mengelilingi  Muhammad,  yang  terdiri  dari kaum
Muhajirin dan Anshar, dan yang tampak hanyalah  pakaian  besi.
Setelah mengetahui keadaan itu Abu Sufyan berkata:
 
"Abbas,  kiranya  takkan  ada  orang  yang  sanggup menghadapi
mereka itu. Abu'l-Fadzl, kerajaan kemenakanmu ini  kelak  akan
menjadi besar!"
 
Sesudah  itu  kemudian ia dibebaskan pergi menemui golongannya
dan dengan suara keras ia berteriak kepada mereka:
 
"Saudara-saudara  Quraisy!  Muhammad  sekarang  datang  dengan
kekuatan  yang  takkan  dapat  kamu  lawan. Tetapi barangsiapa
datang ke rumah Abu  Sufyan  orang  itu  selamat,  barangsiapa
menutup  pintu  rumahnya,  orang  itu  selamat dan barangsiapa
masuk ke dalam mesjid orang itu juga selamat!"
 
Muhammad  sudah  berangkat  bersama   pasukannya   sampai   ke
Dhu-Tuwa.   Setelah   dilihatnya   dari  tempat  itu  tak  ada
perlawanan  dari  pihak  Mekah,  pasukannya   dihentikan.   Ia
membungkuk  menyatakan  rasa  syukur  kepada Tuhan, yang telah
membukakan pintu  Lembah  Wahyu  dan  tempat  Rumah  Suci  itu
kepadanya  dan  kepada  kaum  Muslimin,  sehingga mereka dapat
masuk dengan aman, dengan tenteram.
 
Dalam pada itu Abu Quhafa (ayah Abu Bakr) -  yang  belum  lagi
masuk  Islam waktu itu - meminta kepada cucunya yang perempuan
supaya ia dibawa mendaki gunung  Abu  Qubais.  Sesampainya  di
atas gunung, orang yang sudah buta itu bertanya kepada cucunya
apa yang dilihatnya. Oleh cucunya  dijawab  bahwa  ia  melihat
sesuatu  serba  hitam  berkelompok "ltu pasukan berkuda", kata
orang tua itu.
 
"Sekarang yang serba hitam itu sudah terpencar," kata  cucunya
lagi.
 
"Kalau  begitu  pasukan  berkuda itu sedang bertolak ke Mekah.
Cepat-cepatlah bawa aku pulang ke rumah."
 
Tetapi sebelum ia sampai ke rumahnya pasukan berkuda itu sudah
lebih dulu sampai.

Muhammad merasa bersyukur kepada Tuhan karena pintu Mekah kini
telah terbuka. Tetapi  sungguhpun  demikian  ia  tetap  selalu
waspada  dan  berhati-hati. Diperintahkannya pasukannya supaya
dipecah menjadi  empat  bagian.  Diperintahkan  kepada  mereka
semua  supaya  jangan  melakukan  pertempuran,  jangan  sampai
meneteskan darah, kecuali jika sangat terpaksa sekali.  Zubair
bin'l-'Awwam dalam memimpin pasukan itu ditempatkan pada sayap
kiri dan diperintahkan  memasuki  Mekah  dari  sebelah  utara.
Khalid   bin'l-Walid   ditempatkan   pada   sayap   kanan  dan
diperintahkan supaya memasuki Mekah dari jurusan  bawah.  Sa'd
b.  'Ubada  yang  memimpin orang Medinah supaya memasuki Mekah
dari sebelah  barat,  sedang  Abu  'Ubaida  bin'l-Jarrah  oleh
Muhammad   ditempatkan   ke   dalam   barisan   Muhajirin  dan
bersama-sama memasuki Mekah dari bagian atas, di  kaki  gunung
Hind.
 
Sementara   mereka   sedang   dalam  persiapan  demikian  itu,
tiba-tiba terdengar Said b. 'Ubada berkata:
 
"Hari ini adalah hari perang. Hari dibolehkannya  segala  yang
terlarang ..."
 
Dalam  hal  ini  ia  telah melanggar perintah Nabi, bahwa kaum
Muslimin tidak boleh membunuh penduduk Mekah. Oleh karena itu,
ketika  Nabi  mengetahui  apa  yang  dikatakan  oleh Sa'd itu,
terpikir olehnya akan mengambil bendera yang ada di  tangannya
dan menyerahkannya kepada anaknya, Qais. Qais adalah laki-laki
yang bertubuh besar, tapi ia lebih tenang dari ayahnya.
 
Ketika pasukan sudah memasuki kota, dari pihak Mekah tidak ada
perlawanan, kecuali pasukan Khalid bin'l-Walid yang berhadapan
dengan perlawanan dari mereka yang tinggal  di  daerah  bagian
bawah  Mekah. Mereka ini terdiri dari orang-orang Quraisy yang
paling keras memusuhi Muhammad dan yang ikut serta dengan Banu
Bakr melanggar Perjanjian Hudaibiya dengan mengadakan serangan
terhadap Khuza'a. Mereka ini tidak  mau  memenuhi  seruan  Abu
Sufyan.  Bahkan mereka telah menyiapkan diri hendak berperang,
sementara yang  lain  dari  golongan  mereka  ini  juga  telah
bersiap-siap  pula hendak melarikan diri. Mereka dipimpin oleh
Safwan, Suhail dan  'Ikrima  b.  Abi  Jahl.  Bilamana  pasukan
Khalid ini datang, mereka menghujaninya dengan serangan panah.
Tetapi secepat  itu  pula  Khalid  berhasil  meneerai-beraikan
mereka.  Sungguhpun  begitu dua orang dari anak buahnya tewas,
karena mereka ini ternyata sesat jalan dan terpisah dari induk
pasukannya,   sementara  pihak  Quraisy  kehilangan  tigabelas
orang, menurut  satu  sumber,  atau  duapuluh  delapan  orang,
menurut sumber yang lain.
 
Melihat  malapetaka  yang  sekarang sedang menimpa mereka ini,
Shafwan, Suhail dan 'Ikrima cepat-cepat angkat kaki  melarikan
diri,  dengan  meninggalkan  orang-orang  yang  tadinya mereka
kerahkan mengadakan perlawanan menghadapi kekuatan dan pukulan
Khalid yang heroik itu. Dalam pada itu Muhammad dengan pasukan
Muhajirin yang kini di atas sebuah dataran tinggi itu,  sedang
menyusur  turun  menuju ke Mekah, dengan keyakinan hati hendak
membebaskannya dalam keadaan aman dan damai.  Dilihatnya  kota
itu  dengan  segala  isinya, dilihatnya pula kilatan pedang di
bagian  bawah  kota   serta   pasukan   Khalid   yang   sedang
mengejar-ngejar mereka yang menyerangnya itu. Disini ia merasa
sedih sekali dan berteriak geram dengan  mengingatkan  kembali
akan  perintahnya  untuk tidak mengadakan pertempuran. Setelah
diketahuinya kemudian apa  yang  telah  terjadi,  teringat  ia
bahwa yang sudah dikehendaki Tuhan itulah yang baik.

Sekarang  Muhammad  berhenti  di  hulu  kota Mekah, di hadapan
Bukit Hind. Di tempat  itu  dibangunnya  sebuah  kubah  (kemah
lengkung),  tidak  jauh  dari  makam  Abu  Talib dan Khadijah.
Ketika  ia  ditanya,  maukah  ia  beristirahat  di   rumahnya,
dijawabnya:  "Tidak.  Tidak  ada  rumah yang mereka tinggalkan
buat saya di Mekah," katanya. Kemudian ia masuk ke dalam kemah
lengkung  itu,  ia  beristirahat dengan hati penuh rasa syukur
kepada Tuhan, karena ia telah kembali dengan terhormat, dengan
membawa  kemenangan  ke  dalam  kota,  kota  yang  dulu  telah
mengganggunya menyiksanya dan mengusirnya  dari  keluarga  dan
kampung  halamannya.  Ia  melepaskan pandang ke sekitar tempat
itu,  ke  lembah  wadi   dan   gunung-gunung   yang   ada   di
sekelilingnya.  Gunung-gunung,  tempat  ia  dahulu  tinggal di
celah-celahnya, ketika tindakan Quraisy sudah begitu memuncak,
begitu keras mengasingkan dia. Di pegunungan itulah, yang juga
di antaranya Gua Hira, tempat ia menjalankan tahannuth  ketika
datang  kepadanya  wahyu:  'Bacalah!  Dengan nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah.
Dan  Tuhanmu  Maha  Pemurah.  Yang  mengajarkan  dengan  Pena.
Mengajarkan kepada manusia  apa  yang  belum  diketahuinya..."
(Qur'an, 96: 1-5)
 
Ke   sekitar  gunung-gunung  itu  ia  melepaskan  pandang,  ke
lembah-lembah, dengan rumah-rumah Mekah yang  bertebaran,  dan
di  tengah-tengah  adalah  Rumah  Suci.  Begitu rendah hati ia
kepada Tuhan, sehingga airmata menitik dari  matanya,  setitik
airmata Islam dan rasa syukur demi Kebenaran Yang Mutlak, yang
dalam segala soal kepadaNya jua akan kembali.
 
Saat itu juga terasa olehnya bahwa tugasnya  sebagai  komandan
sudah  selesai.  Tidak lama tinggal dalam kemah itu, ia segera
keluar  lagi.  Dinaikinya  untanya  Al-Qashwa,  dan  ia  pergi
meneruskan  perjalanan  ke Ka'bah. Ia bertawaf di Ka'bah tujuh
kali  dan  menyentuh  sudut  (hajar  aswad)  dengan   sebatang
tongkat5  di  tangan. Selesai ia melakukan tawaf, dipanggilnya
Uthman b. Talha dan pintu  Ka'bah  dibuka.  Sekarang  Muhammad
berdiri di depan pintu, orang pun mulai berbondong-bondong. Ia
berkhotbah di  hadapan  mereka  itu  serta  membacakan  firman
Tuhan:  "Wahai manusia. Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu  saling  mengenal.  Tetapi  orang
yang  paling  mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah
orang yang paling takwa (menjaga diri dari  kejahatan).  Allah
Maha mengetahui dan Maha mengerti." (Qur'an, 49: 13)
 
Kemudian ia menanya kepada mereka:
 
"Orang-orang  Quraisy.  Menurut  pendapat  kamu, apa yang akan
kuperbuat terhadap kamu sekarang?"
 
"Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu  yang  pemurah."
jawab mereka.
 
"Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!" katanya.
 
Dengan  ucapan  itu  maka  kepada Quraisy dan seluruh penduduk
Mekah ia telah memberikan pengampunan umum (amnesti).
 
Alangkah indahnya pengampunan itu dikala  ia  mampu!  Alangkah
besarnya jiwa ini, jiwa yang telah melampaui segala kebesaran,
melampaui segala rasa dengki dan dendam  di  hati!  Jiwa  yang
telah  dapat  menjauhi segala perasaan duniawi, telah mencapai
segala yang diatas kemampuan insani! Itu orang-orang  Quraisy,
yang  sudah  dikenal  betul  oleh Muhammad, siapa-siapa mereka
yang pernah berkomplot hendak  membunuhnya,  siapa-siapa  yang
telah  menganiayanya dan menganiaya sahabat-sahabatnya dahulu,
siapa-siapa yang memeranginya di Badr dan di Uhud, siapa  yang
dahulu mengepungnya dalam perang Khandaq? Dan siapa-siapa yang
telah menghasut orang-orang Arab semua supaya melawannya,  dan
siapa  pula,  kalau  berhasil,  yang  akan  membunuhnya,  akan
mencabiknya sampai berkeping-keping kapan saja kesempatan  itu
ada!?  Mereka  itu,  orang-orang  Quraisy  itu  sekarang dalam
genggaman tangan Muhammad, berada di  bawah  telapak  kakinya.
Perintahnya  akan  segera  dilaksanakan  terhadap  mereka itu.
Nyawa mereka semua kini tergantung hanya di ujung bibirnya dan
pada  wewenangnya  atas  ribuan balatentara yang bersenjatakan
lengkap, yang akan dapat mengikis habis Mekah  dengan  seluruh
penduduknya dalam sekejap mata!

Sejarah Tanjung Jabung Barat

Berdasarkan keputusan Komite Nasional Indonsia (KNI) untuk Pulau Sumatera di Kota Bukit Tinggi (Sumbar) pada tahun 1946, tanggal 15 April 1946, maka pulau Sumatera di bagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Selatan.
Pada waktu itu Daerah Keresidenan Jambi terdiri dari Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Merangin, tergabung dalam Provinsi sumatera Tengah yang dikukuhkan dengan undang – undang darurat Nomor 19 Tahun 1957.
Kemudian dengan terbitnya undang – undang Nomor 61 Tahun 1958 pada tanggal 6 januari 1958 Keresidenan Jambi menjadi Provinsi Tingkat I Jambi yang terdiri dari : Kabupaten Batanghari, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci
Pada tahun 1965 wilayah Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 2 (dua) bagian yaitu : Kabupaten Batanghari dengan Ibukota Kenaliasam, Kabupaten Tanjung Jabung dengan Ibukotanya Kuala Tungkal.
Kabupaten Dati II Tanjung Jabung diresmikan menjadi daerah kabupaten pada tanggal 10 Agustus 1965 yang dikukuhkan dengan undang – undang Nomor 7 Tahun 1965 (Lembaran Negara Nomor 50 Tahun 1965), yang terdiri dari Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Tungkal ilir dan kecamatan Muara Sabak.
Setelah memasuki usianya yang ke-34 dan seiring dengan bergulirnya Era Desentralisasi daerah, dimana daerah di beri wewenang dan keleluasaan untuk mengurus Rumah Tangga nya sendiri, maka kabupaten Tanjung Jabung sesuai dengan Undang – undang No. 54 Tanggal 4 Oktober 1999 tentang pemekaran wilayah kabupaten dalam Provinsi Jambi telah memekarkan diri menjadi dua wilayah yaitu :
1. Kabupaten Tanjung Jabung Barat Sebagai Kabupaten Induk dengan Ibukota Kuala Tungkal
2. Kabupaten Tanjung JabungTimur Sebagai Kabupaten hasil pemekaran dengan Ibukota Talang Babat.

Sejarah Pembentukan BPUPKI

Memasuki awal tahun 1944, kedudukan Jepang dalam perang Pasifik semakin terdesak. Angkatan Laut Amerika Serikat dipimpin Laksamana Nimitz berhasil menduduki posisi penting di Kepulauan Mariana seperti Saipan, Tidian dan Guan yang memberi kesempatan untuk Sekutu melakukan serangan langsung ke Kepulauan Jepang. Sementara posisi Angkatan Darat Amerika Serikat yang dipimpin oleh Jendral Douglas Mac Arthur melalui siasat loncat kataknya berhasil pantai Irian dan membangun markasnya di Holandia (Jayapura). Dari Holandia inilah Mac Arthur akan menyerang Filipina untuk memenuhi janjinya. Di sisi lain kekuatan Angkatan Laut Sekutu yang berpusat di Biak dan Morotai berhasil menghujani bom pada pusat pertahanan militer Jepang di Maluku, Sulawesi, Surabaya dan Semarang. Kondisi tersebut menyebabkan jatuhnya pusat pertahanan Jepang dan merosotnya semangat juang tentara Jepang. Kekuatan tentara Jepang yang semula ofensif (menyerang) berubah menjadi defensif (bertahan). Kepada bangsa Indonesia, pemerintah militer Jepang masih tetap menggembar gemborkan (meyakinkan) bahwa Jepang akan menang dalam perang Pasifik.
Pada tanggal 18 Juli 1944, Perdana Menteri Hideki Tojo terpaksa mengundurkan diri dan diganti oleh Perdana Menteri Koiso Kuniaki. Dalam rangka menarik simpati bangsa Indonesia agar lebih meningkatkan bantuannya baik moril maupun materiil, maka dalam sidang istimewa ke-85 Parlemen Jepang (Teikoku Ginkai) pada tanggal 7 September 1944 (ada yang menyebutkan 19 September 1944), Perdana Menteri Koiso mengumumkan bahwa Negara-negara yang ada di bawah kekuasaan Jepang diperkenankan merdeka “kelak di kemudian hari”. Janji kemerdekaan ini sering disebut dengan istilah Deklarasi Kaiso. Pada saat itu, Koiso dianggap menciptakan perdamaian dengan Sekutu, namun ia tak bisa menemukan solusi yang akan menenteramkan militer Jepang atau Amerika.
Sejak saat itu pemerintah Jepang memberi kesempatan pada bangsa Indonesia untuk mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan Hinomaru (bendera Jepang), begitu pula lagu kebangsaan Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Di satu sisi ada sedikit kebebasan, namun di sisi lain pemerintah Jepang semakin meningkatkan jumlah tenga pemuda untuk pertahanan. Selain dari organisasi pertahanan yang sudah ada ditambah lagi dengan organisasi lainnya seperti: Barisan Pelajar (Suishintai), Barisan Berani Mati (Jikakutai) beranggotakan 50.000 orang yang diilhami oleh pasukan Kamikaze Jepang yang jumlahnya 50.000 orang (pasukan berani mati pada saat penyerangan ke Pearl Harbour).
Pada akhir 1944, posisi Jepang semakin terjepit dalam Perang Asia Timur Raya dimana Sekutu berhasil menduduki wilayah-wilayah kekuasaan Jepang, seperti Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Kepulauan Marshall, bahkan Kepulauan Saipan yang letaknya sudah sangat dekat dengan Jepang berhasil diduduki oleh Amerika pada bulan Juli 1944. Sekutu kemudian menyerang Ambon, Makasar, Manado, Tarakan, Balikpapan, dan Surabaya.
Menghadapi situasi yang kritis itu, maka pada tanggal 1 Maret 1945 pemerintah pendudukan Jepang di Jawa yang dipimpin oleh Panglima tentara ke-16 Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan pembentukan badan tersebut adalah menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan penting tentang ekonomi, politik dan tata pemerintahan sebagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia.
Walaupun dalam penyusunan keanggotaan berlangsung lama karena terjadi tawar menawar antara pihak Indonesia dan Jepang, namun akhirnya BPUPKI berhasil dilantik 28 Mei 1945 bertepatan dengan hari kelahiran Kaisar Jepang, yaitu Kaisar Hirohito. Adapun keanggotaan yang terbentuk berjumlah 67 orang dengan ketua Dr. K.R.T. Radjiman Widiodiningrat dan R. Suroso dan seorang Jepang sebagai wakilnya Ichi Bangase ditambah 7 anggota Jepang yang tidak memiliki suara. Ir. Soekarno yang pada waktu itu juga dicalonkan menjadi ketua, menolak pencalonannya karena ingin memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam perdebatan, karena biasanya peranan ketua sebagai moderator atau pihak yang menegahi dalam memberi keputusan tidak mutlak.
Pada tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkanlah upacara peresmian BPUPKI bertempat di Gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon Jakarta, dihadiri oleh Panglima Tentara Jepang Wilayah Ketujuh Jenderal Itagaki dan Panglima Tentara Keenam Belas di Jawa Letnan Jenderal Nagano. BPUPKI mulai melaksanakan tugasnya dengan melakukan persidangan untuk merumuskan undang-undang dasar bagi Indonesia kelak. Hal utama yang dibahas adalah dasar negara bagi negara Indonesia merdeka.
Selama masa tugasnya BPUPKI hanya mengadakan sidang dua kali. Sidang pertama dilakukan pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 di gedung Chou Sang In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang sekarang dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada sidang pertama, Dr. KRT. Rajiman Widyodiningrat selaku ketua dalam pidato pembukaannya menyampaikan masalah pokok menyangkut dasar negara Indonesia yang ingin dibentuk pada tanggal 29 Mei 1945.
Ada tiga orang yang memberikan pandangannya mengenai dasar negara Indonesia yaitu Mr. Muhammad Yamin, Prof. Dr. Supomo dan Ir. Soekarno.
Orang pertama yang memberikan pandangannya adalah Mr. Muhammad Yamin.
Dalam pidato singkatnya, ia mengemukakan lima asas yaitu:
a. peri kebangsaan
b. peri ke Tuhanan
c. kesejahteraan rakyat
d. peri kemanusiaan
e. peri kerakyatan
Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Soepomo dalam pidatonya mengusulkan pula lima asas yaitu:
a. persatuan
b. mufakat dan demokrasi
c. keadilan social
d. kekeluargaan
e. musyawarah
Pada sidang hari ketiga tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan lima dasar negara Indonesia merdeka yaitu:
a. Kebangsaan Indonesia
b. Internasionalisme dan peri kemanusiaan
c. Mufakat atau demokrasi
d. Kesejahteraan social
e. Ketuhanan yang Maha Esa.
Kelima asas dari Ir. Soekarno itu disebut Pancasila yang menurut beliau dapat diperas menjadi Tri Sila atau Tiga Sila yaitu:
a. Sosionasionalisme
b. Sosiodemokrasi
c. Ketuhanan yang berkebudayaan
Bahkan menurut Ir. Soekarno Trisila tersebut di atas masih dapat diperas menjadi Eka sila yaitu sila Gotong Royong.
Meskipun sudah ada tiga usulan tentang dasar negara, namun sampai 1 Juni 1945 sidang BPUPKI belum berhasil mencapai kata sepakat tentang dasar negara. Maka diputuskan untuk membentuk panitia khusus yang diserahi tugas untuk membahas dan merumuskan kembali usulan dari anggota, baik lisan maupun tertulis dari hasil sidang pertama. Panitia khusus ini yang dikenal dengan Panitia 9 atau panitia kecil yang terdiri dari:
1. Ir. Soekarno (ketua)
2. Drs. Moh. Hatta (wakil ketua)
3. KH. Wachid Hasyim (anggota)
4. Abdoel Kahar Muzakar (anggota)
5. A.A. Maramis (anggota)
6. Abikoesno Tjokrosoeyoso (anggota)
7. H. Agus Salim (anggota)
8. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
9. Mr. Muhammad Yamin (anggota).
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan mengadakan pertemuan. Hasil dari pertemuan tersebut, direkomondasikan Rumusan Dasar Negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisi
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Coba Anda perhatikan rumusan piagam Jakarta point pertama, konsep inilah yang pada akhirnya mengalami perubahan karena adanya kritik bahwa bangsa Indonesia majemuk dalam beragama. Di sisi lain konsep tersebut saat ini sedang gencar-gencarnya untuk diusahakan kembali yaitu upaya untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya mengingat agama Islam merupakan mayoritas di Indonesia.
Setelah piagam Jakarta berhasil disusun, BPUPKI membentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Ini merupakan sidangnya yang ke-2 pada tanggal 10 – 16 Juli 1945. Panitia ini diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan 19 orang. Pada sidang tanggal 11 Juli 1945, panitia Perancang UUD membentuk panitia kecil yang beranggotakan 7 orang.
a. Prof. Dr. Mr. Soepomo (ketua merangkap anggota)
b. Mr. Wongsonegoro
c. Mr. Achmad Soebardjo
d. A.A. Maramis
e. Mr. R.P. Singgih
f. H. Agus Salim
g. Dr. Sukiman.
Tugas panitia kecil adalah menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan UUD yang telah disepakati. Selain panitia kecil di atas, adapula panitia Penghalus bahasa yang anggotanya terdiri dari Prof. Dr. Mr. Soepomo, Prof. Dr. P.A.A. Hoesein Djayadiningrat.
Tanggal 13 Juli 1945 panitia perancang UUD yang diketuai Ir. Soekarno mengadakan sidang untuk membahas hasil kerja panitia kecil perancang UUD.
Pada tanggal 14 Juli 1945 dalam rapat pleno BPUPKI menerima laporan panitia perancang UUD yang dibacakan Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut tiga masalah pokok yaitu:
a. pernyataan Indonesia merdeka
b. pembukaan UUD
c. batang tubuh UUD.
Konsep pernyataan Indonesia merdeka disusun dengan mengambil tiga alenia pertama piagam Jakarta. Sedangkan konsep Undang-Undang Dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat piagam Jakarta.
Hasil kerja panitia perancang UUD yang dilaporkan akhirnya diterima oleh BPUPKI. Kejadian ini merupakan momentum yang sangat penting karena disinilah masa depan bangsa dan negara dibentuk.
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI atau Dokurtsu Junbi Cosakai dibubarkan oleh Jepang karena dianggap terlalu cepat mewujudkan kehendak Indonesia merdeka dan mereka menolak adanya keterlibatan pemimpin pendudukan Jepang dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal itu pula dibentuk PPKI atau Dokuritsu Junbi Inkai, dengan anggota berjumlah 21 orang terdiri dari 12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari Tionghoa.

Kisah Aku & Bidadari

Bila malam hanyut dalam suasana gemerlap bintang bertaburan
laksana cerah menyelimuti indahnya malam
wahai bidadari dimana engkau ketika suasana ini hadir
Aku mencari mu...?
jangan biarkan aku sendiri tanpa dirimu di sisi ku,..
andai aku bisa berharap tanpa syarat darimu
hadirlah engkau laksana embun penghangat suasana cerah ini..
Ingatkah engkau ketika kita masih bersama menikmati malam
Kala itu engkau di pangkuan ku bercerita penuh ceria Dalam hangat cinta & romantis
Aku rindu saat ini saat-saat kita bersama dulu
Hadirlah engkau bidadari...
Balutlah cerita kita bersama seperti dulu
Terurai bersama indah nya suasana gemerlap bintang saat ini,...

Misteri Cinta

Hadir kah cinta dalam sebuah gejolak seperti ini
Ataukah jalan cinta harus mengalami aral rintang dalam pergulatan hati
Menentukan benarkah cinta ini?...
Apakah salah cinta jalani
Namun cinta bukan sebuah paksaan yang harus menyatu
Dengan segala cara di luar akal sehat
Masih kah cinta bertahan...
Ataukah cinta membawa kita memahami arti kesabaran
Untuk merangkuhnya dan mendapatkan cinta itu sendiri
Tapi di balik itu semua cinta mempunyai misteri tersendiri
Ketika hadir,pergi serta menyatu dalam raga dan jiwa
Karena dia sebuah aliran segar yang dapat merubah jalan kehidupan

DERITA CINTA KAMI

Ketika sebuah cinta merasuk jiwa melekat di hati
Tak kan ada kata tuk berpisah
Karena cunta ini menyatu separuh jiwa kita
Tapi apa di kata cinta berkata lain untuk semua itu
Ketika kondisi memutar balikkan cinta dalam suatu pilihan
Yang di mana cinta di pertaruhkan demi sebuah pengabdian
Demi orang tersayang yang membesarkan kita

Walau cinta di antara kita telah melekat
Apa daya ketika restu tak kunjung datang
Apakah cinta ku harus menelan derita tanpa harus memiliki
Ataukah takdir Tuhan berkata lain tentang cinta yang ku jalani

Andaikan putaran waktu merubah semua jalannya cinta



mungkin tak ada rasa pahit cinta ku jalani
Sehingga cinta bisa bertahta di hati ku selamanya
Dalam sebuah ikrar suci cinta sehidup semati
Indahnya istana pelaminan